Membongkar Budaya Rente
Sabtu, 03 Mei 2014 | 18:35
Teguh Santosa, Booknesia Publishing House
Persoalan politik rente di Indonesia sudah lama menjadi keprihatinan di kalangan akademisi dan aktivis pro demokrasi.
Di era 1990an yang lalu Prof. Arief Budiman dalam salah satu bukunya yang berjudul Negara dan Pembangunan memperlihatkan bukti-bukti yang membuat proses pembangunan di Indonesia tersendat-sendat, tidak berkeadilan dan menyisakan jejak kesenjangan yang luar biasa.
Di dalam buku itu, Prof. Arief Budiman membandingkan perjalanan pembangunan Indonesia dengan Korea Selatan. Kedua negara ini memiliki sejumlah kesamaan dalam meniti pembangunan. Pertama, keduanya memulai proses pembangunan dari kurun waktu yang sama, yakni di era 1960an. Korea Selatan lebih dahulu, di tahun 1961 setelah Park Chung Hee berkuasa, dan Indonesia memulainya di tahun 1968 setelah transisi kekuasaan dari pemerintahan sebelumnya kepada Soeharta sempurna.
Kedua, proses pembangunan itu mengunakan paradigma dan pendekatan developmentalism atau pembangunanisme yang mengikuti model pembangunan negara-negara Eropa Barat pasca Perang Dunia Kedua. Negara misalnya diwajibkan memelihara serta memberikan perlindungan dan kemudahan kepada sekelompok pengusaha dan industriawan. Mereka inilah tulang punggung ekonomi nasional yang diyakini bisa menyebarkan kemakmuran dalam bentuk trickle down effect. Pembangunan itu juga bercirikan ketergantungan pada donatur internasional yang tentu saja memiliki kepentingan tidak sedikit di negara-negara yang mereka bantu.
Ketiga, dalam model ini, negara (dalam hal ini elit yang berkuasa) menjadi aktor utama pembangunan, sebagai pengatur yang juga ikut bermain. Keempat, untuk memastikan jalannya proses pembangunan yang diyakini itu elit yang berkuasa menjelmakan diri menjadi Leviathan yang tak terkalahkan, sangat berkuasa dan kekuasaannya melintasi batas-batas paling private sekalipun. Birokrasi dan militer merupakan dua pilar pendukung utama rezim.
Perbedaan proses pembangunan kedua negara itu, sebut Prof. Arief Budiman, terletak pada output dimana Korea Selatan menjadi negara otoriter birokratik yang berorientasi pada pembangunan, sementara Indonesia menjelma menjadi negara otoriter birokratik rente.
Proses pembangunan di Indonesia melahirkan rent seeker bussinesmen dan rent seeker politicians. Inilah sebabnya, Indonesia kini tertinggal jauh dibandingkan Korea Selatan. Negara yang jauh lebih kecil dari Indonesia itu, baik dalam hal jumlah penduduk dan wilayah alam, juga sudah barang tentu sumber daya alam, menjadi salah satu pemain utama ekonomi global.
Sementara Indonesia sejauh ini merupakan pasar utama dari barang-barang Korea Selatan (juga barang-barang negara industri lain) tanpa memperlihatkan kemauan dan komitmen yang kuat tampil sebagai pemain utama.
Dari perspektif itu, dapat dikatakan bahwa buku Dinasti Rente karya Dahnil Anzar ini adalah upaya melengkapi studi yang dilakukan Prof. Arief Budiman dua dekade lalu itu. Ironis, karena setelah dua dekade berlalu kelakuan antipembangunan dan antidemokrasi itu masih kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam skala yang massif dan telanjang gagah berani.
Artikel Lainnya
Membuka Cerita Soewardjo Tirtosoepono
Minggu, 17 Maret 2024 | 05:15
Oleh: Linda Djalil, Wartawan Senior BUKU yang luar biasa. Seorang pejuang kemerdekaan yang bertumpuk pengalamannya, termasuk menjadi guru dari pemuda Sudirman yang akhirnya bernama Jenderal Sud ...
Merawat Ingatan Lewat Buku “Cinta, Kegigihan dan Patriotisme”
Senin, 12 Februari 2024 | 13:10
Oleh: Yayat R Cipasang, Wartawan PEPATAH Latin mengatakan, Verba volant, sricpta manent. Kira-kira artinya setiap ocehan atau teriakan akan berlalu bersama angin sedangkan tulisan akan abadi. ...
Rekam Jejak Capres Anies Baswedan di Mata Internasional
Jumat, 26 Januari 2024 | 00:15
Oleh: Samsul Muarif, Jurnalis Senior AGAK berbeda dari pemilu tahun-tahun sebelumnya, pemilu 2024 kali ini ditandai dengan terbitnya sebuah buku yang membahas salah satu pasangan calon presiden ...