Sedikit tentang Republik yang Tidur Bersama Bencana
Kamis, 09 Mei 2013 | 22:00
Teguh Santosa, Booknesia Publishing House
REPUBLIK INDONESIA pertengahan Mei 2011 lalu sempat dibikin geger oleh informasi yang mengatakan bahwa Jakarta berpotensi mengalami gempa dengan kekuatan 8,7 Skala Richter. Bahkan mungkin lebih. Apa yang dapat dibayangkan dari sebuah gempa berkategori megathrust seperti itu di tengah hutan beton ibukota yang padat kecuali kehancuran yang begitu mengerikan dan tak terbayangkan.
Kualitas informasi itu pun sempat diragukan karena ia meluncur dari mulut Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana (SKP BSB) Andi Arief, salah seorang pembantu utama Presiden SBY sejak lama. Aktivis mahasiswa di era 1990an yang juga dikenal sebagai mesin politik di belakang layar.
Ada dugaan Andi Arief sengaja mengalihkan perhatian publik dari hal-hal lain yang sedang terjadi di seputar pusat kekuasaan. Ada juga yang meminta agar informasi seperti itu disampaikan kepada lembaga yang berwenang, serta tidak dijadikan konsumsi massa.
Saya termasuk orang yang tidak bisa menerima begitu saja ketika mendengar informasi ini pertama kali. Bagaimana mungkin Andi Arief yang lebih dikenal sebagai penstudi politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Jogjakarta, tiba-tiba bicara soal aktivitas geologi dan pergerakan lempeng-lempeng bumi. Kalau Andi Arief bicara tentang ilmuwan politik Italia Antonio Gramsci yang lahir di dekade terakhir abad ke-19 dan meninggal di tahun 1937 ketika Eropa berada di ambang perang baru, atau bicara tentang hegemoni, mungkin saya dan banyak orang lainnya bisa dengan mudah percaya. Karena itu adalah tema utama skripsi S-1 nya di UGM.
Jadi dalam pertemuan setelah informasi potensi gempa megathrust itu, pertanyaan pertama saya pada Andi Arief adalah apakah dirinya memang sedang berusaha mengalihkan perhatian publik dari berbagai kasus di sekitar Istana yang ketika itu mewarnai jagad informasi?
Menjawab pertanyaan ini, Andi Arief mengatakan, dirinya sama sekali tidak punya niat dan keinginan untuk mengalihkan isu apalagi sekadar membuat panik masyarakat. Dari airmukanya saya kira Andi Arief memang serius dan sungguh-sungguh. Informasi mengenai potensi gempa tersebut, kata dia, disampaikan dalam sebuah diskusi secara runut dan komprehensif. Itu adalah hasil studi yang dilakukan kantornya dengan bantuan sejumlah ahli.
Bahkan sebenarnya informasi seperti ini tidak tergolong sebagai informasi baru, dan sudah beberapa kali disampaikan oleh berbagai individu dan lembaga.
Seorang ahli Indonesia dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang ketika itu baru tiga bulan berkantor ke United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pernah meneliti gempa berkekuatan di atas 8 SR yang melanda Selat Sunda pada 1908. Gempa itu mengakibatkan kerusakan di Anyer, Banten, hingga Jakarta!
Selama ini diketahui bahwa subduksi lempeng bumi di selatan Selat Sunda dan Jawa Barat mengarah dari selatan ke utara. Adapun subduksi di sekitar Selat Sunda bergerak memutar searah jarum jam. Sementara di selatan Selat Sunda terjadi peregangan, lalu di selatan Banten mengalami kompresi-penekanan.
Tim 9 yang dibentuk Kantor SKP BSB setahun sebelum itu juga sudah memasukkan potensi gempa di Selat Sunda sebagai salah satu faktor kebencanaan di Jakarta.
Masih menurut Andi Arief, mantan Kepala Pusat Geodesi dan Geodinamika di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Cecep Subarya, pun pernah memasang tujuh GPS di Selat Sunda pada tahun 2009 bersama tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hasil uji GPS itu dijadikan salah satu data untuk modelling potensi gempa di Selat Sunda oleh seorang kandidat doktor yang sedang menyelesaikan tesis di Nagoya University, Jepang, dengan potensial gempa 8,7 SR.
Mengingat gempa di Aceh, Indonesia (2004) dan gempa di Sendai, Jepang (2011) tergolong megathrust dan diduga memiliki kaitan dengan gempa purba, maka kini sedang dilakukan uji modeling ulang. Terlebih karena ada kekhawatiran gempa yang terjadi melebihi 8,7 SR.
Dia menambahkan, informasi seperti ini sengaja mereka lempar ke tengah masyarakat bukan dengan harapan masyarakat panik. Melainkan untuk membangun kesadaran akan bencana sehingga bisa lebih antisipatif. Toh Indonesia adalah negara yang tidur pun bersama bencana karena berada di kawasan cincin api dunia. Posisi geografi ini sudah barang tentu membuat Indonesia sangat akrab dengan bencana, baik yang sifatnya tektonik maupun vulkanik.
Hal terakhir yang disampaikan Andi Arief adalah harapannya agar berbagai lembaga pemerintah yang memiliki kewajiban melindungi warga negara juga menggunakan data-data yang dikumpulkan kantornya demi memperkecil kerusakan dan meminimalisir jatuhnya korban.
Sampai disitu saya puas. Namun satu pertanyaan belum terjawab: bagaimana Andi Arief punya informasi selengkap itu mengenai potensi bencana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fenomena geologis di tanah air? Siapa ahli yang ada di belakang Andi Arief dan kantornya? Siapa ahli yang telah berhasil “memprovokasi” Andi Arief, membuat hidupnya menjadi “tidak nyaman” karena memikirkan berbagai bencana alam yang terjadi di masa lalu juga yang kemungkinan besar akan terus di terjadi di masa yang akan datang?
Itulah saat dimana saya berkenalan dengan DR. Danny Hilman Natawidjaja. Ia adalah salah seorang ahli yang bersama antara lain DR. Andang Bachtiar, DR Didit Ontowiryo, dan DR. Ali Akbar, membantu kantor Andi Arief dalam berbagai penelitian kebencanaan di banyak tempat di Indonesia.
Potensi gempa sebesar 8,7 SR atau bahkan lebih dari itu, yang melanda Jakarta dan sekitarnya, memang ada. Itu kalimat pertama yang dikatakan DHN. Potensi ini dapat disimpulkan dari pengamatan fisik atas garis pertemuan subduksi antara lempeng Benua Euro-Asia dan India-Australia di barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa hingga Sunda Kecil.
Subduksi antara kedua lempeng itu dari utara Pulau Sumatera hingga selatan, di Bengkulu, lebih rapat atau terkunci. Sehingga memungkinkan terjadinya semacam lentingan. Akibatnya gerakan lempeng India-Australia ke bawah lempeng Euro-Asia akan sangat kuat dan menghasilkan gempa dengan kekuatan yang sangat signifikan. Sementara di bagian selatan Pulau Sumatera hingga selatan Pulau Jawa, di sekitar Jogja, kerapatannya sudah sedikit berkurang. Dan semakin berkurang hingga ke timur, di bawah Sunda Kecil.
Kalau bicara soal potensi dapat disimpulkan bahwa bagian utara Pulau Sumatera hingga Selat Sunda memuliki potensi yang tinggi dan frekuensi yang relatif sering. Gempa berkekuatan sekitar 9 SR dapat terjadi antara 200 hingga 300 tahun.
Sementara di selatan Pulau Jawa frekuensi gempa sekitar 1.000 tahun sekali. Adapun di selatan Sunda Kecil zona subduksi sudah impoten, dan yang terjadi adalah pelepasan energi ke utara Sunda Kecil. Ini yang menimbulkan gempa besar di Flores tahun 1977 lalu.
Dari pengamatan batimetri atau topografi dasar laut tidak ada segmentasi dari Pulau Enggano dan kawasan Selat Sunda hingga selatan Pulau Jawa. Ini kesatuan lempeng dan sumber gempa. Sehingga energi dapat dilepaskan dalam satu kali manuver.
Sementara itu yang hingga kini belum diketahui adalah apa yang menjadi sumber gempa, dan apakah energi yang akan dilepaskan sudah terisi penuh, atau masih setengah penuh. Untuk menjawab pertanyaan inilah maka perlu dilakukan penelitian terhadap catatan mengenai gempa-gempa berkekuatan besar di masa lalu.
“Hal ini perlu disampaikan agar muncul awarenes dan kita sama-sama mempelajari sehingga bisa menghasilkan mitigasi terpadu yang melibatkan semua level pemerintahan dan kepemimpinan. Dalam hal ini, kalau kita belum tahu data lengkapnya, maka yang diambil adalah worst case,” demikian Danny.
Sejak itulah saya mengikuti penelitian yang dilakukan Kantor SKP BSB dan para peneliti yang secara voluntarily bernaung di bawahnya dari jarak dekat.
***
Saya dan Booknesia berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan DHN dan Kantor SKP BSB menerbitkan buku yang diangkat dari penelitian atas dialog antara Timaeus dan Critias tentang hilangnya sebuah negeri yang disebut Atlantis yang sempat direkam Plato. Penelitian DHN ini menurut hemat kami patut pula dipandang sebagai karya yang melengkapi karya Prof. Arysio Santos, “The Atlantis: The Lost Continent Finally Found” dan karya Prof. Stephen Oppenheimer, “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”.
Kami mengapresiasi upaya DHN dan para peneliti lain yang tergabung dalam Tim Peneliti Bencana Katastrofi Purba, kemudian menjadi Tim Terpadu Riset Manditi, yang dibentuk kantor SKP BSB untuk menemukan dan mempelajari catatan dan tanda-tanda bencana di masa lalu yang memiliki pola berulang dan karena itu memiliki kemungkinan terjadi kembali di masa depan. DHN menggarisbawahi betapa peradaban dan bencana memiliki hubungan yang sangat erat. Bencana merupakan salah satu faktor yang dapat memusnahkan sebagian atau keseluruhan peradaban.
Ini senada dengan Jared Diamond dalam “Collapse: How Societies Choose to Fail” yang mengatakan bahwa di samping negeri-negeri tetangga yang agresif dan faktor persaingan ekonomi, lingkungan dan bencana yang mengiringinya juga merupakan faktor penyebab hancurnya peradaban-peradaban besar di masa lalu.
Kami yakin buku ini ada manfaatnya untuk kita semua. Selamat membaca.
Pengantar penerbit untuk buku “Plato Tidak Bohong, Atlantis Ada di Indonesia” karya DR. Danny Hilman Natawidjaja, Booknesia (2013)
Artikel Lainnya
Membuka Cerita Soewardjo Tirtosoepono
Minggu, 17 Maret 2024 | 05:15
Oleh: Linda Djalil, Wartawan Senior BUKU yang luar biasa. Seorang pejuang kemerdekaan yang bertumpuk pengalamannya, termasuk menjadi guru dari pemuda Sudirman yang akhirnya bernama Jenderal Sud ...
Merawat Ingatan Lewat Buku “Cinta, Kegigihan dan Patriotisme”
Senin, 12 Februari 2024 | 13:10
Oleh: Yayat R Cipasang, Wartawan PEPATAH Latin mengatakan, Verba volant, sricpta manent. Kira-kira artinya setiap ocehan atau teriakan akan berlalu bersama angin sedangkan tulisan akan abadi. ...
Rekam Jejak Capres Anies Baswedan di Mata Internasional
Jumat, 26 Januari 2024 | 00:15
Oleh: Samsul Muarif, Jurnalis Senior AGAK berbeda dari pemilu tahun-tahun sebelumnya, pemilu 2024 kali ini ditandai dengan terbitnya sebuah buku yang membahas salah satu pasangan calon presiden ...